Ilustrasi seorang nenek dan anak kecil. (Pexels.com)

Perjuangan seorang Ibu tidak akan bisa tergantikan oleh apa pun. Lelah yang dirasakannya seakan menghilang, setelah melihat sang buah hati. Dalam hidupku, sosok perempuan penyabar, penyayang, dan tangguh selain Ibu adalah Nenek.

Dulu saat aku kecil, perempuan tua yang kusebut Mbah uti, rela bangun pagi di waktu subuh untuk pergi ke pasar. Membawa beberapa ikat pisang, kayu, dan daun singkong yang nantinya dijual kembali. Berangkat dengan sepeda ontel yang mulai berkarat dan mengayuh pedalnya sejauh sepuluh kilometer.

Aku pernah bertanya, mengapa harus berangkat sepagi itu untuk ke pasar, “kalau gak pagi-pagi, nanti dagangannya gak laku,” ujarnya sambil tersenyum kala itu.

Jarak antara rumah dan pasar yang terbilang jauh, tak membuatnya mengeluh sedikit pun. Demi sebuah pisang, kayu, dan daun singkong agar terjual habis. Mbah uti masih terlihat gagah saat itu, kakinya juga masih kuat menopang tubuhnya ke sana ke mari.

Saat duduk di bangku Sekolah Dasar, aku sering berkunjung ke kota kelahiran orang tuaku, Yogyakarta. Berangkat bersama Bapak, lalu ditinggalkan seorang diri. Apabila aku ingin kembali ke rumah, Mbah uti yang mengantarku pulang menaiki bus antarkota.

Hari demi hari berjalan seperti biasanya. Hingga suatu malam, kabar tak menyenangkan datang. Mbah uti mengalami kecelakaan saat bersepeda menuju pasar. Perasaanku saat itu hancur, sedih, dan khawatir tentang keadaanya. Ibu langsung menghubungi Tante, bertanya tentang kondisinya setelah dilarikan ke rumah sakit.

Sejak kejadian itu, tidak ada lagi rutinitas pergi ke pasar pada pagi hari. Bahkan tenaga yang dimilikinya untuk mengayuh pedal sepeda sudah tidak sekuat dulu. Fisiknya mudah lelah jika berdiri terlalu lama, apalagi berjalan jauh.

Tubuh yang awalnya tegak, sekarang sudah terlihat bungkuk akibat kecelakaan. Terapi punggung yang dijalaninya, tak membuatnya sembuh total. Mbah uti harus berdiri dan berjalan dengan tubuh yang membungkuk.

Mbah uti berjualan setiap hari. Mulai pukul 6 pagi hingga dagangannya terjual habis. Tak hanya berjualan di depan rumah, terkadang Mbah uti juga menerima pesanan kue, seperti nogosari, arem-arem, monte atau jajanan pasar lainnya.

Berjualan kini menjadi kesubikannya. Aku merasa senang Mbah Uti bisa kembali berjualan, meski hanya di depan rumah saja.